bacakoran.co

Viral MUA Berhijab Asal Lombok Tengah yang Diduga Pria, Dea Lipa Alias Deni Klarifikasi Identitasnya

Dea Lipa, MUA Lombok Tengah viral karena berhijab meski laki-laki./Kolase Bacakoran.co--Instagram @medantalkviral

BACAKORAN.CO - Lombok Tengah kembali menjadi sorotan publik setelah sosok make up artist (MUA) bernama Dea Lipa, yang belakangan diketahui bernama asli Deni Apriadi Rahman (23), viral di media sosial.

Publik heboh karena penampilannya yang feminin dengan hijab ternyata menyimpan fakta bahwa ia adalah seorang laki-laki.

Fenomena ini memicu perdebatan luas, bukan hanya soal identitas pribadi, tetapi juga menyentuh aspek sosial, agama, dan budaya.

Dalam konferensi pers yang digelar Sabtu (15/11) sore, Deni akhirnya angkat bicara.

Ia menjelaskan latar belakang hidupnya yang penuh tantangan.

“Saya beragama Islam. Sejak kecil saya tinggal bersama nenek dari pihak ibu, karena kedua orang tua saya bekerja sebagai tenaga migran,” ungkapnya.

BACA JUGA:Viral! Guru SD di Bulukumba Videokan Kondisi Sekolah yang Ambruk Berujung Minta Maaf, Ada Apa?

BACA JUGA:Game Penghasil Saldo DANA Paling Legit 2025, Pemula Bisa WD Mulai Rp50 Ribu Setiap Hari!

Deni menuturkan bahwa dirinya merupakan penyintas disabilitas dengan keterbatasan pendengaran.

Kondisi tersebut semakin memburuk setelah ia mengalami kecelakaan pada usia sekitar 10 tahun.

Pendidikan yang ditempuh pun hanya sampai tingkat sekolah dasar.

“Tidak memiliki cukup dukungan untuk melanjutkan sekolah. Setelah nenek saya wafat ketika saya kelas VI SD, saya banyak belajar bertahan hidup secara mandiri,” katanya.

Meski terbatas secara pendidikan formal, Deni menemukan jalan hidup melalui dunia tata rias.

Ia belajar secara otodidak dengan memanfaatkan YouTube dan media sosial.

Viral MUA Berhijab Asal Lombok Tengah yang Diduga Pria, Dea Lipa Alias Deni Klarifikasi Identitasnya

Rida Satriani

Rida Satriani


bacakoran.co - lombok tengah kembali menjadi sorotan publik setelah sosok make up artist () bernama dea lipa, yang belakangan diketahui bernama asli deni apriadi rahman (23), di media sosial.

publik heboh karena penampilannya yang feminin dengan hijab ternyata menyimpan fakta bahwa ia adalah seorang laki-laki.

fenomena ini memicu perdebatan luas, bukan hanya soal identitas pribadi, tetapi juga menyentuh aspek sosial, agama, dan budaya.

dalam konferensi pers yang digelar sabtu (15/11) sore, deni akhirnya angkat bicara.

ia menjelaskan latar belakang hidupnya yang penuh tantangan.

“saya beragama islam. sejak kecil saya tinggal bersama nenek dari pihak ibu, karena kedua orang tua saya bekerja sebagai tenaga migran,” ungkapnya.

deni menuturkan bahwa dirinya merupakan penyintas disabilitas dengan keterbatasan pendengaran.

kondisi tersebut semakin memburuk setelah ia mengalami kecelakaan pada usia sekitar 10 tahun.

pendidikan yang ditempuh pun hanya sampai tingkat sekolah dasar.

“tidak memiliki cukup dukungan untuk melanjutkan sekolah. setelah nenek saya wafat ketika saya kelas vi sd, saya banyak belajar bertahan hidup secara mandiri,” katanya.

meski terbatas secara pendidikan formal, deni menemukan jalan hidup melalui dunia tata rias.

ia belajar secara otodidak dengan memanfaatkan youtube dan media sosial.

dari situlah ia mengasah keterampilan hingga dikenal sebagai mua pengantin.

“melalui pekerjaan inilah saya merasa bisa berdiri di atas kaki saya sendiri, memenuhi kebutuhan hidup, dan perlahan memperoleh rasa percaya diri,” ujarnya.

namun, penampilan deni yang mengenakan jilbab layaknya perempuan muslimah menimbulkan kontroversi.

ia mengaku bahwa penggunaan jilbab bukan untuk menipu, melainkan bentuk ekspresi diri.

“saya kagumi sejak bertahun-tahun lalu. saya sama sekali tidak berniat menjadikan busana itu sebagai alat untuk menipu atau melecehkan siapapun. itu adalah bentuk ekspresi diri saya yang lahir dari kekaguman dan keinginan melindungi diri dari pelecehan,” tegasnya.

polemik di masyarakat

sementara itu, masyarakat lombok tengah, khususnya desa mujur, kecamatan praya timur, tempat asal deni, ikut terkejut dengan fakta yang terungkap.

selama ini, sosok dea dikenal luas sebagai mua berhijab dengan penampilan feminin.

banyak klien yang baru menyadari identitas sebenarnya setelah kasus ini mencuat.

bagi sebagian kalangan, isu ini bukan sekadar persoalan penampilan. ada kekhawatiran terkait interaksi dea dengan klien perempuan berhijab.

dalam praktiknya, seorang mua sering masuk ke ruang privat, termasuk saat klien membuka aurat.

dalam ajaran islam, hal tersebut dianggap sensitif karena perempuan tidak diperkenankan membuka aurat di hadapan laki-laki non-mahram.

selain itu, ada pula kekhawatiran mengenai dampak sosial.

anak-anak yang melihat atau mengenal sosok dea bisa meniru perilaku atau ekspresi gendernya tanpa memahami konteks, sehingga menimbulkan kebingungan dalam proses tumbuh kembang dan pemahaman nilai sosial mereka.

kasus ini mencuat setelah sebuah akun facebook bernama diana_arkayanti mengunggah foto dan identitas dea pada kamis (6/11/2025).

unggahan tersebut memicu diskusi panjang di jagat maya, dengan beragam komentar pro dan kontra.

sebagian menilai dea berhak mengekspresikan diri, sementara yang lain menekankan pentingnya menjaga norma agama dan sosial.

antara ekspresi diri dan norma sosial

fenomena dea lipa menjadi cermin kompleksitas hubungan antara ekspresi personal dan norma masyarakat.

di satu sisi, deni berusaha bertahan hidup dengan keterampilan yang ia miliki, sekaligus mencari ruang aman dari pelecehan.

di sisi lain, masyarakat menuntut adanya batasan yang jelas, terutama dalam profesi yang melibatkan ruang privat dan kepercayaan tinggi seperti jasa tata rias.

peristiwa ini menjadi peringatan bagi masyarakat agar lebih kritis dan waspada.

kasus dea menunjukkan bahwa isu identitas tidak bisa dipandang sebelah mata, karena menyangkut aspek kepercayaan, etika, dan interaksi sosial.

dengan keterbatasan yang dimilikinya, deni tetap menegaskan bahwa dirinya tidak bermaksud menyinggung siapapun.

ia hanya ingin bekerja, bertahan hidup, dan mengekspresikan diri.

namun, polemik yang muncul memperlihatkan bahwa masyarakat masih membutuhkan ruang dialog untuk memahami fenomena semacam ini secara lebih bijak.

Tag
Share