BACAKORAN.CO - Mantan direktur WHO Asian Tenggara ungkap beberapa masalah potensi yang menjadi pemicu keracunan massal pada MBG.
Prof Tjandra Yoga ungkap keracunan makanan ini bisa terjadi di berbagai belahan dunia dan tidak hanya terkait keracunan makanan Program Makan Bergizi Gratis.
"Secara umum World Health Organization (WHO) menyebutkan setidaknya ada lima hal yang dapat dideteksi di laboratorium untuk menilai keracunan makanan, dan baik kalau lima hal ini juga diperiksa di laboratorium kita sehubungan keracunan makanan yang dikaitkan dengan MBG ini," kata Tjandra dikutip dari keterangan tertulis, dilansir Bacakoran.co dari CNBC Indonesia, Minggu (28/9/2025).
Ia yang berprofesi sebagai Direktur Pascasarjana Universitas YARSI/Adjunct Professor Griffith University ungkap dari merujuk pada hasil lab pemeriksaan sampel MBG di Laboratorium Kesehatan Daerah di Jawa Barat, setidaknya ada dua penyebab keracunan makanan.
BACA JUGA:BGN Buka 60 Ribu Lowongan Chef Bersertifikat untuk Program MBG 2025, Daftarnya?
Ditemukan dua jenis bakteri dominan pada sampel makanan MBG yaitu Salmonella dan Bacillus cereus.
Salmonella dikaitkan dengan makanan tinggi protein seperti daging, unggas, dan telur menurut WHO.
Sementara Bacillus cereus berisiko menyebabkan keracunan makanan, terutama akibat penyimpanan nasi yang tidak tepat, berdasarkan data NSW Food Authority Australia.
Sebelumnya Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali jadi sorotan publik setelah ribuan siswa di berbagai daerah mengalami keracunan massal.
Dalam sepekan terakhir, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat jumlah korban naik drastis dari 5.360 siswa pada 14 September menjadi 6.452 siswa per 21 September.
Jawa Barat menjadi daerah dengan kasus keracunan tertinggi, disusul DIY, Jawa Tengah, Bengkulu, dan Sulawesi Tengah.
Lonjakan ini memicu desakan dari berbagai pihak agar pemerintah menghentikan sementara program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan melakukan evaluasi total.
BACA JUGA:Gizi Terjaga, Keracunan Dicegah: Ini Rahasia Dapur MBG Kutim, Ada Menu Khusus...
Kritikan datang dari lembaga masyarakat sipil, DPR, pemerintah daerah, kelompok mahasiswa, hingga aktivis perlindungan anak.