bacakoran.co - polemik tata niaga gula kembali mencuat setelah tebu mengeluhkan serbuan gula rafinasi ke pasar konsumsi dan derasnya impor etanol.
kondisi ini menyebabkan penumpukan gula dan tetes tebu di gudang, memicu desakan dari hingga dpr ri agar pemerintah segera melakukan pembatasan impor dan perbaikan regulasi.
kepala badan pangan nasional (bapanas) arief prasetyo adi menegaskan bahwa salah satu penyebab utama macetnya penyerapan tetes tebu lokal adalah tingginya volume impor etanol.
ia menilai langkah pembatasan impor harus dipertimbangkan demi menjaga keberlangsungan produksi petani dalam negeri.
“mohon dipertimbangkan, supaya tebunya itu masih bisa diserap terus, bisa menggiling terus, jadi tetesnya itu harus keluar. keluarnya salah satunya buat etanol. tolong bisa juga diukur importasi etanol,” ujar arief di jakarta, dikutip dari cnn indonesia.
menurutnya, kajian pembatasan masih berlangsung, sementara keputusan penuh berada di tangan kementerian perdagangan.
menteri perdagangan budi santoso sebelumnya telah menerbitkan aturan baru melalui permendag nomor 16 tahun 2025 yang mengatur impor etanol dan tetes tebu tanpa kuota, cukup memenuhi syarat kepabeanan.
“mulai hari ini coba kita lihat perkembangannya seperti apa. kalau itu memang mengganggu industri, mengganggu produksi, ya bukan masalah, permendag bisa saja direvisi, enggak masalah, tapi harus dievaluasi,” kata budi.
namun aturan tersebut justru menimbulkan keresahan di kalangan petani.
sekretaris jenderal aptri, m. nur khabsyin, menyatakan stok molase saat ini menumpuk di berbagai pabrik gula.
jika kebijakan tidak segera direvisi, aptri mengancam akan melakukan aksi unjuk rasa di kementerian perdagangan.
“kalau tidak direvisi, petani tebu tetap akan melakukan unjuk rasa di kementerian perdagangan,” ujarnya.
gelombang protes petani ini turut mendapat perhatian .
wakil ketua komisi iv dpr ri alex indra lukman menyoroti lemahnya pengawasan yang membuka peluang praktik “salah kamar” dalam tata niaga gula.
menurutnya, gula rafinasi seharusnya hanya dipasok untuk kebutuhan industri, sementara gula produksi petani diperuntukkan bagi konsumsi rumah tangga.
“gula rafinasi dan gula petani itu menggarap pasar berbeda. jika gula rafinasi masuk pasar konsumsi, itu artinya ada yang salah dalam tata niaga,” tegas alex, dikutip dari publicanews.
kehadiran gula rafinasi di pasar konsumsi juga menekan harga gula petani.
data himpunan kerukunan tani indonesia (hkti) menunjukkan sebanyak 268 ribu ton gula menumpuk di gudang, terdiri dari 62.542 ton milik petani, 144.341 ton milik pedagang, dan 45.916 ton milik pabrik.
situasi ini semakin menekan daya tawar petani yang berharap harga tetap stabil.
alex turut menyoroti dana rp1,5 triliun yang telah disiapkan pemerintah melalui badan pengelola investasi daya anagata nusantara (danantara) untuk menyerap gula petani.
ia mengingatkan agar dana tersebut digunakan secara transparan dan akuntabel.
“dana itu bukan untuk public service. jadi jangan seenaknya menggunakan uang negara tanpa perhitungan yang tepat,” ujarnya.
di sisi lain, wakil menteri pertanian sudaryono telah mengambil langkah penghentian sementara impor gula kristal rafinasi (gkr) demi menekan distorsi pasar.
meski baru terealisasi 70 persen, impor gkr disebut sudah menimbulkan dampak signifikan terhadap tata niaga gula.
alex menegaskan perlunya perhitungan ulang agar industri tetap terpenuhi namun tidak mengorbankan kepentingan petani lokal.
kisruh tata niaga gula dan tetes tebu ini dikhawatirkan dapat menghambat program swasembada pangan yang dicanangkan presiden prabowo pada 2025.
jika produk lokal terus tersisih akibat banjir impor, insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi akan melemah.
petani terancam rugi, sementara masyarakat berpotensi mengonsumsi gula rafinasi yang dinilai memiliki risiko kesehatan lebih tinggi.
kini, keputusan berada di tangan pemerintah.
revisi regulasi menjadi langkah krusial untuk menyelamatkan petani tebu sekaligus menata ulang mekanisme perdagangan gula nasional.
jika tidak segera ada tindakan, ancaman aksi besar-besaran dari petani tinggal menunggu waktu, dan polemik gula bisa berubah menjadi krisis pangan yang lebih serius.