BBKSDA Papua Dikecam Warga Usai Bakar Mahkota Adat Cenderawasih, Kini Minta Maaf
Aksi BBKSDA Papua membakar mahkota adat cenderawasih picu protes masyarakat./Kolase Bacakoran.co--Instagram @info_kejadian_merauke
BACAKORAN.CO – Tindakan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua yang membakar mahkota adat Papua berbahan bulu burung cenderawasih memicu protes dari berbagai kalangan.
Aksi pemusnahan yang dilakukan sekitar 15 Oktober 2025 itu terekam dalam sebuah video yang viral di media sosial, memunculkan perdebatan sengit antara perlindungan satwa langka dan pelestarian budaya lokal.
Mahkota Adat Dibakar, BBKSDA Klaim Jalankan Prosedur
Dalam klarifikasi resminya, BBKSDA Papua menyatakan bahwa pembakaran mahkota adat tersebut merupakan bagian dari penegakan hukum terhadap barang bukti hasil sitaan peredaran tumbuhan dan satwa liar (TSL) ilegal.
Langkah ini disebut sesuai dengan Peraturan Menteri LHK Nomor P.26/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2017 tentang tata cara penanganan TSL yang dilindungi.
BACA JUGA:Heboh! Macan Tutul Berkeliaran di Hotel Bandung, BBKSDA Telusuri Asal Satwa
BACA JUGA:Ternyata Tidak Sesuai Iklan, Aqua Gunakan Air Sumur Bor, Ketauan Saat Disidak KDM
Pihak BBKSDA menegaskan bahwa tindakan tersebut dilakukan atas persetujuan pemilik barang dan tidak dimaksudkan untuk merendahkan nilai-nilai budaya masyarakat Papua.
“Pemusnahan mahkota cenderawasih dilakukan sesuai prosedur, dan tidak ada maksud lain selain menjalankan ketentuan hukum,” ungkap perwakilan BBKSDA Papua.
Gelombang Protes dari Masyarakat Adat dan Aktivis
Respons keras datang dari masyarakat adat, tokoh budaya, hingga aktivis muda Papua.
Mereka menilai tindakan membakar mahkota adat bukan sekadar memusnahkan benda, tetapi juga menghapus simbol identitas dan kebanggaan masyarakat Papua.
“Cenderawasih bukan sekadar hewan endemik, tapi simbol keindahan, kebanggaan, dan identitas budaya Tanah Papua,” ujar salah satu aktivis dalam wawancara dengan media lokal.
Para aktivis menilai bahwa pendekatan yang digunakan BBKSDA terlalu legalistik dan minim empati budaya.
Mereka mendorong agar barang sitaan yang memiliki nilai historis dan kultural tinggi diserahkan ke museum atau lembaga adat sebagai sarana edukasi, bukan dimusnahkan.
Aksi Protes di Boven Digoel
BACA JUGA:Heboh! Warga Semarang Temukan Bayi Dalam Tas Dekat Kuburan: Polisi Buru Orang Tuanya