Erosi akibat pengerukan pulau juga memicu sedimentasi yang mengancam terumbu karang, ekosistem utama Raja Ampat.
Limbah dari tambang nikel diduga telah mencemari sungai dan perairan pesisir.
Warga di Pulau Gag dan Kawe melaporkan air laut yang keruh, merusak ekosistem perikanan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka.
BACA JUGA:Diduga Jual Amunisi ke Teroris di Papua, Polisi Tangkap Polisi
BACA JUGA:Terus Meresahkan, 2 KKB Berhasil Dilumpuhkan, Tewas Oleh Satgas Ops Damai Cartenz 2025 Papua Tengah
Raja Ampat adalah rumah bagi lebih dari 1.700 spesies ikan dan 75% spesies karang dunia.
Sedimentasi dan polusi akibat tambang dapat menghancurkan ekosistem ini, mengancam pariwisata dan kehidupan laut.
Masyarakat adat di Raja Ampat, seperti suku di Pulau Kawe, kehilangan akses ke sumber daya alam yang menjadi penopang hidup mereka.
Selain itu, ada kekhawatiran tentang risiko kesehatan akibat paparan polutan dari tambang.
Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia, menyumbang sekitar 50% produksi nikel global pada 2023.
Sejak larangan ekspor bijih nikel pada 2020, pemerintah mendorong hilirisasi dengan membangun smelter di berbagai wilayah, termasuk Sulawesi, Maluku, dan kini Raja Ampat.
BACA JUGA:Geger! Komnas HAM Ditembaki oleh KKB Papua, Saat Operasi Pencarian Iptu Tomi Samuel yang Hilang
BACA JUGA:Heboh! Rusia Dituding ‘Incar’ Pangkalan Udara Indonesia di Papua, Kemenhan Buka Suara!
Namun, kebijakan ini menuai kritik karena dampak lingkungan dan sosialnya, terutama di kawasan sensitif seperti Raja Ampat.
Pada April 2025, pemerintah Indonesia menaikkan royalti nikel dari 10% menjadi 14–19% untuk meningkatkan pendapatan negara guna mendanai program prioritas Presiden Prabowo Subianto, seperti makan siang gratis.
Namun, langkah ini memicu protes dari pelaku industri nikel, yang mengeluhkan penurunan margin keuntungan akibat harga nikel global yang rendah.