Di Raja Ampat, perusahaan tambang seperti PT Bartra Putra Mulia (BPM) di Pulau Gebe dan konsesi lain di Pulau Gag dan Kawe menjadi sorotan.
Warga menolak ekspansi tambang karena minimnya konsultasi dengan masyarakat adat dan dampak lingkungan yang tidak terkendali.
BACA JUGA:Eks TNI Selundupkan Senjata Pindad ke KKB Papua, Polisi Bongkar Jaringan Senilai Rp1,3 M!
Protes di Jakarta pada 3 Juni 2025 menyoroti kurangnya transparansi dan keterlibatan masyarakat dalam proyek tambang.
Aktivis Greenpeace menyerukan penghentian operasi tambang di Raja Ampat untuk melindungi ekosistem dan hak masyarakat adat.
Mereka juga menyinggung kebijakan pemerintah yang dianggap memprioritaskan investor ketimbang lingkungan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa penambangan nikel di Raja Ampat diatur dengan izin resmi dan bertujuan mendukung hilirisasi nasional.
Cecep Mochammad Yasin, Direktur Pengembangan Usaha Mineral ESDM, menyebut kebijakan royalti sebagai langkah untuk memastikan manfaat tambang dirasakan seluruh rakyat Indonesia.
BACA JUGA:Indonesia Tetap Bertahan Meski Tambang Nikel Dunia ‘Gulung Tikar’
BACA JUGA:6 Fakta Greenfield Nikel yang Jadi Sorotan Saat Adu Argumen pada Debat Cawapres Ke-4!
Namun, pemerintah belum memberikan tanggapan spesifik terkait protes di Raja Ampat.
Perusahaan tambang seperti Tsingshan Holding Group (di Morowali) dan Harita Group (di Halmahera) juga menghadapi tekanan serupa di wilayah lain, dengan tuduhan pencemaran air dan kerusakan lingkungan.
Di Raja Ampat, kurangnya komunikasi dari perusahaan tambang memperparah ketegangan dengan warga lokal.
Tagar #SavePapua dan #SaveRajaAmpat mencerminkan keprihatinan mendalam terhadap ancaman tambang nikel di Raja Ampat, yang merusak hutan, perairan, dan kehidupan masyarakat adat.
Protes warga dan aktivis Greenpeace pada Juni 2025 menyoroti urgensi perlindungan ekosistem unik Raja Ampat dari ekspansi tambang yang tidak terkendali.