bacakoran.co - kembali menjadi sorotan nasional setelah serangkaian kasus keracunan massal menimpa ribuan siswa di berbagai daerah.
temuan terbaru dari kantor staf presiden (ksp) mengungkap fakta mengejutkan: dari 8.583 dapur mbg atau satuan pelayanan pemenuhan gizi (sppg) yang beroperasi di seluruh indonesia, hanya 34 yang sudah mengantongi dari kementerian kesehatan.
slhs sejatinya menjadi bukti resmi pemenuhan standar mutu serta keamanan pangan, baik olahan maupun siap saji.
namun, realita di lapangan justru menunjukkan mayoritas dapur mbg berjalan tanpa sertifikasi.
kepala ksp muhammad qodari menegaskan hal ini sangat berbahaya karena justru membuka celah risiko keracunan.
“berdasarkan data kemenkes, dari 8.583 sppg per 22 september, ada 34 yang sudah memiliki slhs. 8.549 sppg existing belum memiliki slhs,” kata qodari, dikutip dari cnn indonesia.
qodari juga menyoroti lemahnya penerapan standar operasional prosedur (sop) keamanan pangan di dapur mbg.
dari total 1.379 sppg, hanya 413 yang memiliki sop keamanan pangan, dan lebih parahnya lagi, hanya 312 yang benar-benar menjalankannya.
“dari sini kan sudah kelihatan kalau mau mengatasi masalah ini, maka sop keamanan pangan harus ada dan dijalankan,” ujarnya, dikutip dari inews.id.
minimnya standar higienis dan lemahnya sop dinilai menjadi penyebab utama meningkatnya kasus keracunan siswa.
data badan pengawas obat dan makanan (bpom) menunjukkan, 9 dari 10 insiden keracunan pangan sepanjang agustus–september 2025 terjadi di dapur mbg yang baru beroperasi kurang dari satu bulan.
qodari bahkan menyebut kondisi ini sebagai “critical one month”, merujuk pada masa rawan yang sangat menentukan kualitas penyelenggaraan program mbg.
sementara itu, kasus keracunan massal terus bertambah.
salah satu insiden terbesar terjadi di berbagai daerah di indonesia.
jumlah korban pun terus meningkat hingga 842 siswa dari paud, sd, smp, hingga sma.
data terbaru di posko cihampelas dan cipongkor mencatat total 1.315 warga keracunan dalam kurun 22–25 september 2025.
kondisi ini memicu kepanikan di tengah masyarakat dan membuat orang tua waswas melepas anak-anak mereka untuk mengikuti program mbg di sekolah.
menyikapi temuan ksp, dpr ri mendesak pemerintah untuk menghentikan sementara dapur mbg yang belum memenuhi syarat higienis.
wakil ketua komisi ix dpr ri charles honoris menegaskan dapur yang belum memiliki slhs tidak boleh beroperasi sampai standar benar-benar dipenuhi.
“dapur yang belum memiliki slhs tidak boleh beroperasi sampai memenuhi standar yang ditetapkan. pemerintah daerah bersama kementerian kesehatan wajib memfasilitasi percepatan penerbitan slhs,” kata charles, dikutip dari cnn indonesia.
charles juga meminta agar pemerintah menghentikan sementara penambahan dapur baru mbg.
ia menegaskan program ini memang strategis untuk mendukung pemenuhan gizi anak bangsa, tetapi kualitas harus diutamakan ketimbang kuantitas.
“kalau pelaksanaannya tidak memenuhi standar, justru bisa menimbulkan masalah kesehatan baru,” tegasnya.
desakan evaluasi total pun menguat.
jaringan pemantau pendidikan indonesia (jppi) mencatat jumlah siswa keracunan akibat mbg melonjak tajam dari 5.360 kasus pada 14 september menjadi 6.452 kasus per 21 september 2025, atau bertambah 1.092 kasus hanya dalam sepekan.
koalisi kawal mbg bahkan menuntut program ini dihentikan sementara untuk mencegah korban bertambah.
peneliti indonesia corruption watch (icw), eva nurcahyani, menyebut tata kelola mbg sangat buruk dan minim akuntabilitas.
ia menilai program ini sudah berulang kali merugikan masyarakat.
“program ini harus dihentikan dulu agar tidak menimbulkan kerugian lebih besar bagi masyarakat,” kata eva.
meski dihujani kritik dan desakan moratorium, pemerintah tetap bersikeras melanjutkan program mbg.
wakil menteri sekretaris negara juri ardiantoro mengatakan, evaluasi akan dilakukan, tetapi program tidak akan dihentikan.
“tentu ini akan menjadi masukan yang baik buat pemerintah, tapi sampai hari ini mbg akan tetap jalan dan masalah-masalah yang terjadi segera akan diatasi,” ujarnya, dikutip dari cnn indonesia.
program yang awalnya digadang-gadang sebagai solusi pemenuhan gizi anak justru dianggap gagal karena tidak memperhatikan aspek higienis dan keamanan pangan.