Padahal, merujuk pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, penggunaan pelat nomor yang tidak sesuai dengan data di STNK termasuk pelanggaran pidana.
Hukuman yang dapat dikenakan adalah pidana dua bulan atau denda maksimal Rp500 ribu.
BACA JUGA:Gencatan Senjata Hamas-Israel: Truk Bantuan Mulai Masuki Gaza, Harapan Baru untuk Warga Palestina
Netizen pun menilai bahwa kasus ini menjadi cermin buram penegakan hukum di Indonesia.
Ketika masyarakat dituntut untuk patuh terhadap aturan, justru oknum aparat yang seharusnya menjadi contoh, malah terlibat pelanggaran namun lepas dari jerat hukum.
Kasus ini juga memicu perdebatan publik tentang efektivitas tilang elektronik.
Banyak yang menduga bahwa penggunaan pelat palsu atau pelat gantung oleh sebagian kalangan justru dilakukan untuk menghindari sistem ETLE yang makin ketat.
Namun Ramli dengan tegas membantah hal tersebut.
BACA JUGA:Nyerah, Keluarga Kecewa Terkait Kasus Dugaan Pengedaran Narkoba Ammar Zoni di Lapas Salemba: Pusing!
Sayangnya, alasan ‘lupa’ melepas pelat gantung dan status sebagai aparat kepolisian tak serta-merta bisa diterima publik.
Netizen meminta agar penegakan hukum tidak lagi tebang pilih, apalagi dalam era keterbukaan informasi seperti sekarang.
Yang mereka inginkan sederhana: hukum berlaku adil, entah untuk rakyat kecil, atau untuk pemilik Rubicon oranye yang kebetulan berpangkat AKP.