Ia juga menyoroti potensi meningkatnya risiko penipuan dan kesalahan manasik jika jamaah melakukan perjalanan ibadah tanpa pendampingan.
Menurutnya umrah bukan perjalanan wisata, melainkan ini ibadah, tanpa bimbingan dan pembinaan fiqh, jamaah bisa salah manasik atau menjadi korban penipuan.
Gelombang penolakan terhadap aturan baru itu terus bergulir.
BACA JUGA:DPR RI Bahas Usulan Pembentukan Kementerian Haji Umrah
Sejumlah pengusaha travel bahkan telah berencana mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Ini di grup kami sedang menyusun rencana untuk menyikapi aturan baru itu. Termasuk pengajuan judicial review,” ujar Mustain, pemilik biro perjalanan umrah asal Sukorejo, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, seperti dikutip dari Kompas.com.
Ia menilai kebijakan ini mengabaikan jerih payah para pelaku usaha resmi yang selama ini sudah patuh terhadap seluruh ketentuan perizinan, pajak, dan sertifikasi.
Senada dengan itu, Fahmi Salam, pemilik travel umrah asal Kota Pasuruan, menjelaskan bahwa istilah “mandiri” sebenarnya muncul karena sistem baru yang diberlakukan pemerintah Arab Saudi melalui kartu digital Nusuk.
Menurutnya, jamaah tetap harus membeli paket resmi yang telah tercatat di sistem Arab Saudi.
BACA JUGA:Ada Kemungkinan Haji dan Umrah Jalur Laut, Ini Kata Menag Nasaruddin Umar
BACA JUGA:Begini Nasib Jemaah Umrah Indonesia Jika Arab Saudi Tutup Wilayah Udara!
Meski menuai protes, pemerintah tetap yakin kebijakan ini memberikan pilihan baru bagi jamaah dan dapat menekan biaya umrah yang selama ini dianggap terlalu mahal.
Namun, pelaku usaha menilai keputusan itu justru membuka ruang liberalisasi ibadah yang bisa menimbulkan persoalan baru di lapangan.
Zaky mengingatkan agar pemerintah tidak hanya mengatur dari atas meja tanpa mempertimbangkan dampak sosial dan spiritual.
Legalisasi umrah mandiri lewat UU No. 14 Tahun 2025 menjadi tonggak baru sekaligus perdebatan panjang dalam penyelenggaraan ibadah di Indonesia.