Salah satu langkah yang diambil Bank Indonesia untuk jaga stabilitas Rupiah adalah menahan suku bunga acuan di angka tinggi, yakni 5,75 persen sejak November 2024.
BACA JUGA:Cuma Gegara Protes, 1.126 Pekerja Pabrik Sepatu Ini Di-PHK, Perusahaan Ngeles Begini!
Tapi, menurut Achmad, kebijakan ini juga punya efek samping yang nggak kalah berat.
“Kebijakan suku bunga tinggi mungkin bisa tahan Rupiah biar nggak anjlok lebih dalam. Tapi ini juga bikin ekonomi dalam negeri makin tersedak. Modal asing mungkin masuk, tapi pelaku usaha lokal malah tertekan,” katanya.
Jadi, kebijakan moneter seperti ini memang dilematis. Di satu sisi bisa meredam depresiasi, tapi di sisi lain bisa memperlambat roda ekonomi.
Menurut Achmad, BI sebagai bank sentral memang punya independensi dalam mengambil keputusan, tapi efektivitas strategi itu harus dilihat dari hasilnya, apakah mampu menekan depresiasi atau malah memperparah situasi.
BACA JUGA:Iran Murka! Ancam 6 Negara Teluk Bisa Jadi Musuh Jika Bantu Serangan AS, Kuwait Angkat Bicara
Achmad menegaskan, kalau kondisi ini dibiarkan, Indonesia bisa masuk ke situasi yang jauh lebih serius.
Apalagi sebagian besar utang luar negeri (ULN) kita dalam bentuk valuta asing, sementara pemasukan mayoritas masih dalam Rupiah.
Ini adalah resep klasik menuju krisis kalau nggak segera diantisipasi.
Jadi, melemahnya Rupiah bukan sekadar kabar buruk sesaat, tapi bisa jadi sinyal awal masalah besar.
BACA JUGA:Kronologi Kasus Penganiayaan Terhadap Sekuriti di RS Mitra Keluarga, Diduga Karena Ditegur?
Saatnya semua pihak waspada dan bergerak cepat sebelum terlambat!