BACAKORAN.CO - Lagu kebangsaan Indonesia, “Indonesia Raya”, ciptaan Wage Rudolf Soepratman, memiliki tiga stanza penuh makna.
Namun, hingga kini, masyarakat Indonesia hanya menyanyikan stanza pertama dalam upacara resmi dan kegiatan kenegaraan.
Mengapa demikian?
Ternyata, keputusan ini bukan tanpa alasan sejarah dan pertimbangan mendalam.
Sejarah Awal Lagu Indonesia Raya
BACA JUGA:LMKN Klarifikasi: Lagu Indonesia Raya Sudah Public Domain dan Tak Perlu Bayar Royalti, Asalkan...
BACA JUGA:Putar Lagu Indonesia Raya Harus Bayar Royalti? Ini Penjelasan LMKN!
WR Soepratman, seorang wartawan dan musisi kelahiran 19 Maret 1903, menciptakan lagu Indonesia Raya setelah membaca artikel di majalah Timboel yang menantang para komponis Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan yang mampu membangkitkan semangat rakyat.
Terinspirasi oleh semangat nasionalisme, ia menciptakan lagu yang kemudian menjadi simbol perjuangan kemerdekaan.
Lagu ini pertama kali diperdengarkan dalam Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928 di Gedung Indonesische Clubgebouw, Jakarta.
Saat itu, lagu dimainkan dengan biola tanpa lirik. Reaksi peserta kongres sangat emosional—ada yang bertepuk tangan, bersorak, bahkan meminta lagu itu dimainkan ulang.
Sementara itu, perwakilan pemerintah kolonial Belanda tidak memahami makna lagu tersebut dan menganggapnya sebagai hiburan biasa.
Dari Biola ke Piringan Hitam
BACA JUGA:Lengkap! Ini Susunan Upacara 17 Agustus 2025 HUT ke-80 RI: Sesuai Pedoman Resmi Kemendikdasmen
Setelah Kongres Pemuda II, WR Soepratman merekam lagu Indonesia Raya dalam bentuk piringan hitam bersama rekannya Yo Kim Tjan. Ia membuat dua versi, yaitu instrumen biola dan orkes keroncong—genre musik populer saat itu.
Lagu ini kemudian dirilis oleh surat kabar Sin Po pada 10 November 1928, lengkap dengan partitur dan lirik tiga stanza.