Ia menegaskan bahwa untuk mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, harus ada evaluasi mendalam terhadap sejarah, fakta hukum, serta dampak sosial yang ditinggalkan oleh pemerintahannya.
BACA JUGA:China Resmi Terapkan Aturan Influencer Wajib Ijazah, Sertifikasi Profesional Kini Jadi Syarat!
BACA JUGA:Berusaha Kabur Begal Sadis Dilumpuhkan dengan Timah Panas, Uang Jual Motor Untuk Beli Narkoba
“Belum ada dasar yang cukup kuat untuk menjadikannya pahlawan nasional. Banyak hal yang harus dipertimbangkan dengan matang,” tutup Esti.
Soeharto, yang berkuasa selama lebih dari 32 tahun (1966–1998), dikenal sebagai tokoh yang membawa stabilitas ekonomi namun juga meninggalkan banyak catatan kelam, mulai dari pelanggaran HAM, korupsi besar-besaran, hingga pembatasan kebebasan berpendapat.
Setelah lengser pada 1998, Soeharto sempat menghadapi proses hukum, namun tidak pernah benar-benar dijatuhi hukuman karena alasan kesehatan.
Hingga kini, warisan politiknya masih menjadi topik sensitif di kalangan masyarakat dan elite politik.
BACA JUGA: Sandra Dewi Cabut Gugatan Soal Tas Mewah Disita Kejagung, Ini Alasannya!
BACA JUGA:Suharta Ucin : Wako Prabumulih Pastikan Anggaran Pelebaran Jalan Tidak Diganggu Gugat
Penolakan PDIP terhadap usulan gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto menunjukkan bahwa isu rekonsiliasi sejarah masih menjadi perdebatan panjang di Indonesia.
Ribka Tjiptaning dan sejumlah tokoh PDIP menegaskan bahwa gelar pahlawan tidak boleh diberikan kepada sosok dengan catatan pelanggaran berat terhadap rakyatnya sendiri.
Meski demikian, keputusan akhir tetap berada di tangan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) serta Presiden RI, yang memiliki wewenang penuh untuk menetapkan siapa saja tokoh yang layak menyandang gelar Pahlawan Nasional.