Di media sosial X, khususnya pada akun yang mengunggah potongan pernyataan Endipat, kolom komentar dipenuhi kritik tajam.
Banyak netizen mempertanyakan kontribusi nyata DPR RI dalam penanggulangan bencana.
Sebagian menyebut bahwa bantuan negara memang kewajiban karena bersumber dari uang rakyat, sementara donasi influencer berasal dari solidaritas masyarakat.
Seorang netizen bahkan membagikan hasil survei media nasional yang menunjukkan tingkat ketidakpercayaan publik terhadap DPR RI mencapai sekitar 41 persen, tertinggi dibandingkan lembaga negara lainnya.
BACA JUGA:BKSDA Kerahkan 4 Gajah Jinak Bantu Bersihkan Puing Pascabanjir di Pidie Jaya
Data tersebut digunakan untuk menegaskan bahwa kritik publik bukan tanpa dasar.
Komentar lain menilai sindiran Endipat tidak etis karena tidak semua pihak memiliki akses yang sama untuk membantu secara langsung di lokasi bencana.
Bagi masyarakat, siapapun yang mampu menggerakkan bantuan cepat seharusnya diapresiasi, bukan disindir.
Fenomena influencer menggalang dana untuk korban bencana bukan hal baru di Indonesia.
BACA JUGA:Viral Penipuan WO Ayu Puspita Capai Rp16 Miliar, Ratusan Korban Geruduk Rumah Pelaku
Di era digital, media sosial menjadi saluran efektif untuk menggerakkan solidaritas publik.
Dengan jangkauan audiens besar, influencer kerap mampu mengumpulkan bantuan dalam waktu singkat dan menyalurkannya langsung ke lapangan.
Kasus Ferry Irwandi, influencer yang disebut berhasil menghimpun dana hingga Rp10 miliar, menjadi contoh bagaimana kekuatan digital dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kemanusiaan.
Banyak pihak menilai, selama penggalangan dana dilakukan secara transparan dan tepat sasaran, kontribusi tersebut justru melengkapi peran negara.
Gelombang kritik terhadap Endipat Wijaya juga mencerminkan tuntutan publik agar pejabat lebih berhati-hati dalam berbicara, terutama terkait isu sensitif seperti bencana.